Lembaga pendidikan yang ada seolah-olah hanya memproduksi pengangguran-pengangguran baru setiap tahun
Lembaga pendidikan yang ada seolah-olah hanya memproduksi pengangguran-pengangguran baru setiap tahun
Pesatnya kemajuan dan perkembangan
teknologi hingga saat ini telah banyak memberikan perubahan bagi kehidupan
manusia. Semua aspek di dunia sekarang saling berpacu dan bertanding,
seakan-akan mereka sedang melakukan perlombaan yang tiada garis finish.
Dunia industri terus berupaya bagaimana caranya agar mereka bisa mereproduksi
barang dengan jumlah yang semakin besar tetapi hanya memanfaatkan modal bahan dan tenaga yang sedikit serta hasil berkualitas tiada
tanding, sehingga mereka lebih percaya dengan kemampuan mesin dari pada manusia. Akibatnya kebutuhan tenaga kerja berupa
manusia semakin berkurang dari masa kemasa karena telah digantikan oleh
kemampuan mesin dan
pemograman komputer yang lebih teliti dan murah. Begitu juga di bidang perkantoran pihak manajemen berusaha mengurangi
karyawan dan menggantikannya dengan pemograman komputerisasi yang lebih teliti
dan bisa dipercaya.
Akibat dari hal di atas telah terciptanya banyak
pengangguran dan orang yang berpenghasilan di bawah rata-rata serta
menyempitnya peluang bagi para pencari kerja dengan ketatnya persaingan.
Lembaga pendidikan yang ada seolah-olah hanya memproduksi
pengangguran-pengangguran baru setiap tahun. Sementara Indonesia yang kaya
dengan sumber daya alamnya telah menunggu tangan-tangan putra Indonesia untuk
menjamah serta mengolahnya menjadi sesuatu yang lebih berharga. Tetapi amat
disayangkan karena kebanyakan generasi muda seakan-akan bingung dan hanya larut
dalam kesenangan-kesenangan yang berujung sengsara. Banyak peluang dan
kesempatan untuk melakukan hal yang lebih baik untuk masa depan, tetapi malah
mengedepankan berbagai alasan untuk tidak mengambil tindakan.
Jika Indonesia dengan sistem pendidikannya
berhasil membina dan melahirkan generasi bangsa yang berjiwa pengusaha dan
mampu berwirausaha secara baik maka akan semakin besar pulalah pendapatan
Negara yang bersumber dari pajak, sehingga dengan besarnya pendapatan Negara,
maka untuk yang lain seperti BBM, sembako, listrik dan lain-lain bisa ditambah
besarnya subsidi untuk rakyat. Pemerintah tidak perlu lagi menaikkan harga
kebutuhan tersebut untuk biaya operasional Negara karena telah ditutupi oleh
pajak yang bersumber dari perusahaan swasta.
Dengan pesatnya pertumbuhan dunia usaha
atau semakin banyak generasi muda
Indonesia yang membuka badan usaha serta lapangan kerja maka akan semakin besar
pulalah pendapatan Negara yang bersumber dari pajak.
Sementara warga Indonesia yang mampu
memberikan pajak terbesar untuk Negara hanya orang-orang yang punya unit usaha.
Semakin besar omset usaha seseorang maka semakin besar pulalah pajak yang harus
diberikan untuk Negara, sedangkan para pegawai sipil adalah administrator
negara yang mana mereka sendiri di bayar melalui pajak.
Jadi dapat disimpulkan bahwa para
pengusaha adalah orang-orang yang cukup berjasa terhadap Negara karena ikut
andil membiayai operasional Negara, sehingga jika jumlah mereka makin banyak
maka Negara akan semakin kaya.
Negara singapura yang kecil secara
geografis bisa dijadikan contoh nyata, tetapi mereka cukup hebat karena disana
peminat dunia usaha jauh lebih banyak dari pada peminat untuk menjadi pegawai
sipil.
Pendidikan di
Universitas idealnya adalah melahirkan generasi yang siap dan mampu membentuk
lapangan kerja serta memberikan peluang
kerja kepada masyarakat yang tidak mampu berwirausaha namun tidak punya pekerjaan tetapi mau bekerja. Bukan
mencari kerja yang pada
akhirnya mengakibatkan kapasitas penampungan tenaga kerja di dunia kerja semakin
memprihatinkan, sedangkan dunia usaha
menunggu pribadi-pribadi pengusaha yang siap untuk mengolah sumberdaya
Indonesia yang kaya.
Kendatipun demikian Indonesia juga telah
memiliki banyak anak bangsa yang sukses sebagai pengusaha besar dan mengelola
bisnis mulai dari skala daerah, provinsi, nasional bahkan internasional. Tetapi yang sangat disayangkan, yaitu mereka
yang sukses sebagai perintis bukanlah rata-rata dari mereka alumni perguruan
tinggi di Indonesia. Sekalipun ada hanya bisa dihitung jari dan justru
didominasi oleh mereka yang alumni perguruan luar negeri dan yang putus sekolah
formal di Indonesia.
Maka ketika industri tercanggih di
Indonesia, seperti IPTN yang tidak semua
orang Indonesia pantas
direkrut kecuali putra
terbaiknya saja, ternyata harus
juga mengurangi karyawannya, rakyatpun terperangah. Ternyata Indonesia memiliki
begitu banyak orang
pintar lagi siap
pakai sampai-sampai sulit menampungnya dan
terpaksa tidak dipakai.
Boleh jadi ada
yang bertanya; kenapa surplus
orang pintar dan
siap pakai itu
tidak dimanfaatkan untuk membuat
cabang-cabang IPTN, walau
sekedar untuk memproduksi
layang-layang? Lantas apa
artinya “Tenaga Siap
pakai”? Kenapa ternyata
mereka tidak siap untuk
tidak dipakai? Kenapa
tidak dididik saja
mereka sejak awal untuk
menjadi “Tenaga Siap
Tak Terpakai?” Dengan
kata lain, kenapa
bukan istilah “Tenaga Siap Cipta” misalnya yang dimasyarakatkan?
Di dalam “cipta” ada makna kemandirian
dan kemampuan, sedangkan di dalam “pakai” ada makna
ketergantungan dan ketidakberdayaan. Tergantung dan tak berdaya di dalam
memilih dan menentukan, seakan tak punya pilihan, serta dipaksa
untuk menerima apa
yang disodorkan. Manusia
menjadi tak lebih dari
sekedar operator bagi
sebuah teknologi, bahkan
untuk sebuah ideologi.
Akhirnya,
orientasi Lapangan Kerja
Selepas Sekolah semakin mendominasi pertimbangan
memilih bidang studi.
Terlihat sekali ketika industri perbankan tumbuh menjamur,
sekolah-sekolah manajemen keuangan dan yang sejenisnya pun langsung surplus
peminat. Gayungpun bersambut, semua orang ramai-ramai bikin sekolahnya.
Mencetak orang untuk
dijadikan administratur para
konglomerat. Kalau kemudian para
alumninya berwirausaha di
bidang lain, itu terpaksa, karena ternyata penawaran
lebih besar dari
permintaan.
Pemikiran yang masih dan terus tertanam dalam jiwa generasi
muda pada umumnya adalah mencari ilmu dan gelar serta skill untuk bisa diterima
bekerja di perusahaan atau lembaga tertentu dengan gaji besar setiap bulan. Hal
inipun juga masih sangat memprihatinkan, masih banyak diantara pelajar di
peguruan tinggi hanya untuk mencari gelar saja, sehingga dilakukan berbagai
cara agar bisa dapat nilai bagus dan lulus dengan gelar yang diinginkan akibatnya mereka tak dapatkan ilmu yang sesungguhnya selama
terdaftar di perguruan tinggi.
Jika pendidikan hanya memproduksi mental-mental pekerja maka lambat laun akan semakin
habislah peluang untuk melamar pekerjaan dan persaingan semakin ketat sedangkan
masukan untuk Negara berupa APBD dari pajak menurun. Yang untung besar hanyalah
perusahaan-perusahaan asing, sebab setiap orang Indonesia jika ada dua pilihan
maka mereka lebih cendrung memilih perusahaan asing, selain gajinya lebih besar
juga bergengsi bagi masyarakat pada umumnya.
Belum ada Komentar untuk "Lembaga pendidikan yang ada seolah-olah hanya memproduksi pengangguran-pengangguran baru setiap tahun"
Posting Komentar