Pembagian harta warisan diminangkabau
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Minangkabau adalah suatu tempat di Indonesia dimana orang dapat menjumpai
masyarakat yang diatur menurut tertib hukum ibu, sehingga dapat dilihat bahwa
“faktor turunan darah menurut garis ibu” merupakan faktor yang mengatur
organisasi masyarakatnya. Kehidupan yang diatur menurut tertib hukum ibu itulah
yang disebut dalam istilah sehari-hari sebagai kehidupan menurut adat.
Hukum waris Minangkabau yang merupakan bahagian dari hukum adat yang banyak
seluk beluknya karena pada satu pihak hukum waris Minangkabau merupakan
kelanjutan yang sesuai dengan tertib susunan menurut hukum ibu, akan tetapi
pada pihak lain, ia mempunyai sangkut paut dan dipengaruhi oleh hukum syarak
(agama). Sesuai dengan tertib susunan menurut hukum ibu, maka ahli waris
menurut hukum adat Minangkabau dihitung dari garis ibu. Pada masyarakat
Minangkabau, harta peninggalan dapat berupa harta pusaka tinggi dan atau harta
pusaka rendah (harta pencarian). Kalau yang dibicarakan harta pusaka tinggi,
maka ahli warisnya ialah anggota-anggota keluarga dilihat dari garis ibu.
Namun, kalau yang dibicarakan itu harta pusaka rendah (harta pencarian), maka
kepada siapa harta itu diwariskan tergantung dari kemauan si meninggal pada
masa hidupnya.
Pengaruh Hukum Islam sangat kental di dalam bidang pewarisan masyarakat
Minangkabau yang tampak nyata. Meskipun cara pewarisan antara hukum adat
Minangkabau yang berdasarkan garis keturunan Ibu sangat bertolak belakang
dengan kewarisan Islam yang pembagiannya berdasarkan garis kebapakan atau
patrilineal.
Berdasarkan uraian diatas, Penulis tertarik untuk menelaah lebih jauh
mengenai harta warisan pada masyarakat Minangkabau. Untuk itu penulis
3mengangkat makalah dengan judul “Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan di
Minangkabau”.
Segala sesuatu pasti mempunyai tujuan tertentu, karena jika tidak sesuatu itu hanya akan sia-sia saja. Begitu pula halnya dengan makalah ini. Berdasarkan penjelasan tentang harta warisan pada latar belakang di atas, penulis mengangkat makalah ini dengan tujuan:
1. Untuk mengetahui tentang pelaksanaan pembagian harta warisan di lingkungan adat Minangkabau.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pembagian harta warisan dalam lingkungan adat Minangkabau.
3. Untuk mengetahui upaya untuk mengatasinya hambatan yang timbul.
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah sangat penting untuk menyelesaikan sebuah maasalah. Dengan adanya batasan masalah, suatu masalah yang dibahas ruang lingkupnya lebih spesifik. Sehingga masalah tersebut akan lebih mudah untuk diselesaikan.
Adapun makalah ini hanya akan membicarakan tentang:
1. Macam-macam harta warisan di Minangkabau
2. Pelaksanaan pembagian harta warisan dalam lingkungan adat Minangkabau.
3. Kontroversi hukum islam terhadap pembagian harta warisan di Minangkabau
1.4 Manfaat Penulisan
Apapun yang kita lakukan dapat dikatakan baik jika bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Memberikan masukan untuk memecahkan masalah pembagian harta warisan pada masyarakat Minangkabau.
2. Manfaat Praktis
Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan agar dapat menuju kodifikasi hukum dalam rangka mewujudkan Hukum Kewarisan Nasional.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hukum Kewarisan Adat
Syarat beralihnya harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih
hidup adalah adanya hubungan silaturrahmi atau kekerabatan antara keduanya.
Adanya hubungan kekerabatan ditentukan oleh hubungan darah dan perkawinan. Pada
tahap pertama, seorang anak yang lahir dari seorang ibu mempunyai hubungan
kerabat dengan ibu yang melahirkannya itu. Hal ini tidak dapat dibantah karena
sia anak keluar dari rahim ibunya tersebut. Oleh karena itu hubungan yang
terbentuk ini adalah alamiah sifatnya.
Dengan berlakunya hubungan kekerabatan antara seorang anak dengan ibunya,
maka berlaku pula hubungan kekerabatan itu dengan orang-orang yang dilahirkan
oleh ibunya itu. Dengan begitu secara dasar terbentuklah kekerabatan menurut
garis ibu (matrilineal).
Berdasarkan hubungan perkawinan, maka seorang istri adalah ahli waris
suaminya dan suami adalah ahli waris bagi istrinya. Berlakunya hubungan
kewarisan antara suami dan istri dengan didasarkan telah dilangsungkan antara
keduanya akad nikah yang sah.
2.2 Macam-Macam Harta Warisan
Harta warisan di Minangkabau dikenal dengan harta pusako, yaitu harta
peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia dan diwarisi oleh ahli waris
menurut ketentuan yang berlaku sepanjang yang diberlakukan oleh adat dan
syarak.Dimana harta tersebut dibedakan menjadi dua bagian:
1. Harta Pusako Tinggi.
2. Harta Pusako Rendah.
Harta Pusako tinggi adalah harta yang diperoleh dengan tambilang besi, yaitu
harta yang diperdapat oleh seseorang dengan manaruko. Yang dimaksudkan dengan
manaruko tersebut adalah membuat/ mengolah sawah jo ladang dari wilayat, bumi
yang belum diolah sehingga diolah dengan mempergunakan alat perkakas
diantaranya dikenal dengan tambilang besi.
Harta Pusako tinggi inilah yang diwarisi secara turun temurun dari Niniak
kepada Datuk dari Datuak kepada Mamak dan dari mamak kepada Kemenakan menurut
aturan sepanjang ketentuan adat yang berlaku. Harta pusako tinggi itu antara
lain: Rumah Gadang, Pandam Pakuburan, Sawah Ladang, Hutan Tanah, luak tapian,
dan dangau paladangan.
Dalam harta pusako tinggi tersebut ada hutan tanah yang telah diolah dan ada
yang belum diolah oleh manusia namun telah ada rumusan atau aturan menurut adat
warih maupun tutur yang diterima secara turun temurun ada orang yang berhak
memilkinya; “ Hak bamiliak Harta Banampunyo”. Maka harta yang belum diolah atau
belum ada orang yang diberi hak tunggu, hak mendiami atau hak pakai maka harta
tersebut dinamakan dengan harta wilayat. Ada yang disebut dengan Harta wilayat
nagari ada yang disebut dengan harta wilayat suku, dan ada yang disebut dengan
harta wilayat kaum. Penggunaan dan pemanfaatan harta wilayat tersebut diatur
menurut aturan yang berlaku sepanjang adat dan diberlakukan oleh nagari, suku
maupun kaum yang berhak menguasai dan mengolah harta tersebut.
Disamping itu Minangkabau mengenal Harta Pusako Rendah yaitu harta yang
diperoleh oleh seseorang tidak dengan mempergunakan Tambilang Besi, artinya
tidak manaruko, tidak membuat dan tidak mengolah hutan, tanah, wilayah, bumi
ini melainkan diperdapat dengan Tambilang Emas, hadiah maupun hibah dari orang
lain.
Harta pusako rendah inilah yang diwarisi oleh anak maupun cucu yang
pengaturannya atau pembagiannya akan diatur lebih sempurna menurut hukum
Faraid, yaitu hukum pembagian harta pencaharian menurut ajaran Agama Islam.
2.3 Cara-Cara Pewarisan
a. Pewarisan Harta Pusaka Tinggi
Harta pusaka adalah harta yang dikuasai oleh kaum secara kolektif, Maka harta pusaka tetap tinggal pada rumah yang ditempati oleh kaum untuk dimanfaatkan bersama oleh seluruh anggota kaum itu. Penerusan harta atau peranan pengurusan atas harta pusaka hanya menyangkut harta pusaka tinggi yang murni, dengan arti belum dimasuki unsur harta pencarian. Harta pusaka hanya berhak dilanjutkan oleh keturunan dalam rumah itu dan tidak dapat beralih kerumah lain walaupun antara kedua rumah itu terlingkup.
b. Pewarisan Harta Bawaan
Harta bawaan ialah harta yang dibawa oleh seorang suami kerumah istrinya pada waktu perkawinan. Oleh karena itu, harta bawaan adalah hak penuh si suami, maka tidak ada hak istri didalamnya. Bila suami meninggal, maka yang menyangkut harta bawaan berlakulah ucapan adat “bawaan kembali, tepatan tinggal”, Yaitu pulangnya harta itu kembali ke asalnya yaitu kaum dari suami.
c. Pewarisan Harta Tepatan
Yang dimaksud dengan harta tepatan atau harta dapatan ialah harta yang telah ada pada istri pada waktu suami kawin dengan istri itu. Kaum suami tidak berhak sama sekali atas harta itu. Suami sebagai pendatang, karena kematiannya tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap harta yang sudah ada di rumah si isteri.
d. Pewarisan Harta Pencarian
Harta pencarian yang didapat seseorang dipergunakan untuk menambah harta pusaka yang telah ada. Dengan demikian, harta pencarian menggabung dengan harta pusaka bila yang mendapatkannya sudah tidak ada. Dengan menggabungkannya dengan harta pusaka, dengan sendirinya diwarisi oleh generasi ponakan.
Bila harta pencarian tercampur langsung dengan harta pusaka, maka masalahnya lebih rumit dibandingkan dengan harta pencarian yang didalamnya hanya terdapat unsur harta kaum. Kerumitan itu disebabkan oleh karena hak ponakan pasti terdapat didalamnya, hanya kabur dalam pemisahan harta pencarian dari harta kaum. Oleh karena tidak adanya kepastian tentang pemilikkan harta itu, sering timbul sengketa yang berakhir di pengadilan antara anak dan ponakan.
e. Pewarisan Harta Bersama
Yang dimaksud harta bersama disini ialah harta yang didapat oleh suami istri selama ikatan perkawinan. Harta bersama ini dipisahkan dari harta bawaan yaitu yang dibawa suami kedalam hidup perkawinan dan harta tepatan yang didapati si suami pada waktu ia pulang ke rumah istrinya itu walaupun sumber kekayaan bersama itu mungkin pula berasal dari kedua bentuk harta tersebut.
2.4 Kontroversi Hukum Islam
Menurut hukum Islam, harta haruslah diturunkan sesuai dengan faraidh yang sudah diatur pembagiannya antara pihak perempuan dan laki-laki. Namun di Minangkabau, seluruh harta pusaka tinggi diturunkan kepada anggota keluarga perempuan dari garis keturunan ibu. Hal ini menimbulkan kontoversi dari sebagian ulama.
Ulama Minangkabau yang paling keras menentang pengaturan harta pusaka tinggi yang tidak mengikuti hukum waris Islam adalah Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syeikh Tahir Jalaluddin Al-Azhari, dan Agus Salim. Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam dan khatib Masjidil Haram Mekkah, menyatakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk harta syubhat sehingga haram untuk dimanfaatkan. Beliau konsisten dengan pendapatnya itu dan oleh sebab itulah ia tidak mau kembali ke ranah Minang. Sikap Abdul Karim Amrullah berbeda dengan ulama-ulama di atas. Beliau mengambil jalan tengah dengan memfatwakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk kategori wakaf, yang boleh dimanfaatkan oleh pihak keluarga namun tidak boleh diperjualbelikan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adat Minangkabau menjalankan asas kekerabatan Matrilineal. Kehidupan mereka
ditunjang oleh harta yang dimiliki secara turun temurun. Harta tersebut
dimiliki oleh seluruh anggota keluarga. Dalam mekanisme peralihan harta berlaku
asas kolektif. Dengan masuknya agama Islam di Minangkabau telah memberikan
pemahaman yang baru terhadap harta yang ada di dalam sebuah rumah. Agama Islam
dan adat telah menyatu dalam tingkah laku suku bangsa Minangkabau. Ajaran Islam
memberikan istilah baru terhadap harta yang diperoleh suami-istri selama
melangsungkan perkawainan sebagai harta pencarian. Harta pencarian diwariskan
oleh orang tua kepada anak-anaknya. Harta pencarian tidak lagi diwarisi oleh
keponakan secara adat, tetapi diwarisi oleh anak dan istri secara hukum Faraid.
3.2 Saran
Masuknya ajaran Islam di Minangkabau sebaiknya harus disadari secara penuh
oleh masyarakat Minangkabau bahwa ajaran Islam itu membawabanyak perubahan kepada hal yang jauh lebih baik dengan tidak meninggalkan ajaran adat yang sudah digariskan oleh nenek moyang orang Minangkabau. Jika hal ini sudah dapat disadari secara penuh barulah terhadap pembagian warisan
khususnya harta pencarian dapat terlaksana dengan baik dan konflik yang timbul dalam pelaksanaan pembagian tersebut dapat diminimalisir, sehingga falsafah “adat basandi syara’ dan syara’ basandi Kitabullah” artinya
adat berpedoman kepada agama, dan agama berpedoman kepada kitab Allah yaitu Al quran dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Belum ada Komentar untuk "Pembagian harta warisan diminangkabau"
Posting Komentar